R.A. Kartini dan Surat yang Mengubah Dunia – Membaca Pemikiran Kartini dari Perspektif Modern

Raden Adjeng Kartini (1879–1904) merupakan salah satu tokoh perempuan paling berpengaruh dalam sejarah Indonesia modern. Meskipun hidup pada masa kolonial yang membatasi peran perempuan, Kartini meninggalkan warisan intelektual yang abadi melalui surat-suratnya kepada sahabat-sahabatnya di Belanda. Kumpulan surat tersebut kemudian diterbitkan oleh J.H. Abendanon pada tahun 1911 dengan judul Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang) — karya yang mengubah pandangan bangsa terhadap pendidikan, kesetaraan, dan emansipasi perempuan.
Menurut Suryakusuma (2011), surat-surat Kartini tidak hanya mencerminkan keluhan pribadi terhadap sistem patriarki, tetapi juga menggambarkan pemikiran progresif tentang hak asasi manusia, keadilan sosial, dan modernitas. Ia mengkritik keras keterbatasan pendidikan bagi perempuan Jawa dan menegaskan bahwa pendidikan adalah sarana utama untuk membebaskan manusia dari “kegelapan” kebodohan dan ketidakadilan.

Kartini juga dikenal sebagai feminist intelektual pertama di Nusantara, meskipun istilah “feminisme” belum dikenal luas pada zamannya. Dalam suratnya kepada Stella Zeehandelaar (25 Mei 1899), Kartini menulis:
“Kami, gadis-gadis Jawa, hidup terkurung seperti burung dalam sangkar. Namun jiwa kami terbang jauh — ke dunia pengetahuan dan kebebasan.”
Kutipan ini menunjukkan kesadaran reflektif dan semangat transformatif yang menembus batas zaman.
Dalam konteks modern, gagasan Kartini dapat dibaca melalui pendekatan feminisme humanis, yaitu perjuangan yang berakar pada nilai kemanusiaan universal, bukan sekadar pertentangan gender. Kartini tidak menolak budaya Jawa, tetapi berupaya mereformasi nilai-nilai tradisional agar selaras dengan kemajuan moral dan intelektual masyarakat (Hatley, 2018).

Pemikiran Kartini juga sangat relevan dengan pendidikan abad ke-21, yang menekankan kesetaraan akses, pemberdayaan perempuan, dan literasi kritis. UNESCO (2022) menegaskan bahwa pendidikan perempuan merupakan pilar pembangunan berkelanjutan karena berdampak langsung terhadap kemiskinan, kesehatan, dan kualitas generasi masa depan — sebuah gagasan yang telah disuarakan Kartini lebih dari seabad yang lalu.
Lebih dari sekadar ikon nasional, Kartini adalah simbol kebangkitan kesadaran intelektual Indonesia. Surat-suratnya mengajarkan bahwa perubahan besar sering bermula dari refleksi kecil yang ditulis dengan kejujuran dan keberanian moral.
Di tengah era digital dan disrupsi informasi, semangat Kartini tetap relevan: literasi bukan hanya kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga berpikir kritis, berani menyuarakan keadilan, dan memperjuangkan martabat manusia.
Kartini tidak hidup lama, tetapi surat-suratnya terus hidup — menjadi saksi bahwa kata-kata bisa menyalakan revolusi kesadaran yang tak pernah padam. ✨

📚 Referensi:
- Abendanon, J. H. (1911). Door Duisternis tot Licht. Batavia: Landsdrukkerij.
- Suryakusuma, J. I. (2011). Sex, Power, and Nation. Jakarta: Komunitas Bambu.
- Hatley, B. (2018). Feminist Voices in Indonesian Literature. Monash University Press.
- UNESCO. (2022). Gender Equality and Education: A Global Perspective.
- Handayani, T., & Novianto, A. (2004). Konsep dan Gerakan Feminisme. Pustaka Pelajar.